Wednesday, January 11, 2006

HALO EFFECT

Ada fenomena menarik yang belakangan ini seringkali saya lihat. HALO EFFECT. Gejalanya tampak jelas, dimana hampir semua orang mempunyai deskripsi dan paradigma yang (hampir) sama untuk berbagai orang, atau sekelompok orang yang lekat dengan embel-embel atau asosiasi tertentu, mulai dari organisasi, pakaian atau profesinya. Setiap orang. Setiap profesi, selalu diasosiasikan dengan lingkaran di atas kepalanya. Stereotip. Sebut saja contohnya:

#1 (percakapan di sebuah lab, Enpe lagi nyanyi-nyanyi lagu Nirvana)
Ira: ”ih Enpe, kok apal lagu-lagu gitu sih?”
Enpe: ”emang kenapa kalo saya hapal lagu ini”.
Ira: ”Kamu kan ketua M**I (nama sebuah organisasi dakwah departemen) , ga pantes lah”
Enpe: ”ooo..gitu ya”

#2 (dalam perjalanan pulang)
Gw ga nyangka si A (sambil menyebut nama seorang artis terkenal), bisa ngomong berbobot kaya gitu lho. Artis kan biasanya bego.

#3 (sekre BEM, cowok-cowok lagi pada ngumpul)
Kok ada ya akhwat gitu?? Akhwat kan biasanya kalem, nurut, baek, ga macem-macem.

#4
Mereka kan anak gaul gitu. Males ah, pasti ngomonginnya yang hedon-hedon aja. Mana mau diajak diskusi.

Sering denger kan pbrolan-obrolan model di atas?? Atau malah kita juga adalah si pelaku obrolan itu. Atau sebaliknya, kita adalah ’korban’ obrolan itu, d person whom they judge by the stereotip that they’ve been created by themselves. Biasanya, seharusnya, adalah kata-kata yang kerap digunakan tuk menggambarkan stereotip itu. Pada prinsipnya adalah wajar ketika mereka yang berada pada kelompok yang sama atau orang-oang dengan profesi yang sama memiliki kecenderungan yang sama, karakter yang sama, dan tingkah laku yang (hampir) sama pula. Ilmu psikologi pun mengamini hal ini. Namun kita perlu hati-hati ketika mencoba mengasosiakan seseorang dengan salah satu model stereotip yang ada di otak kita. Karena jangan-jangan kita sedang mencoba mengeneralisir sesuatu yang tidak seharusnya digeneralisir. Hal ini disebutkan oleh Kang Jalal dalam bukunya Rekayasa Sosial sebagai salah satu kesalahan berpikir yang umum.

Bayangkan saja bagaimana sebelnya kita kalo tiba-tiba jadi objek HALO EFFECT itu. Mungkin kita bakal bilang gini : Mentang-mentang aku artis trus aku ga mungkin pinter gitu. Atau, mentang-mentang gw anak gaul, trus gw ga mungkin peduli sama masyarakat gitu. Atau lagi, mentang-mentang ana akhwat trus ana ga boleh tampil trendi gitu. Ya kira-kira begitulah juga (mungkin) komentar mereka yang kita lekatkan dengan stereotip versi kita tadi. So, hati-hati ketika menilai seseorang, karena setiap orang punya keunikan masing-masing, tak ada satu pun ciptaan 4JJI yang benar-benar sama, bahkan anak kembar sekalipun. Say goodbye to halo effect, we create our own model. And it’s all different from one to another. Wallahualam.

Untuk sahabatku:
u’r not somekind of stereotip, sis…just be what u want to be..

nb : Contoh-contoh di atas adalah fiktif belaka, jika ada kesamaan nama tokoh, tempat atau kejadian, hal itu hanya kebetulan (yang disengaja) hehehe...

Berdamai dengan masa lalu

Wikan: ”Nggak apa-apa Mas. Masa lalu akan terus menjadi hantu bila ditutup-tutupi. Tapi bila kita memperlakukannya seperti teringat peristiwa di pagi hari ketika kita sedang makan siang, maka ketakutan itu akan lenyap dengan sendirinya.”
Tomo: ”Kamu benar, kita sering lupa berterimakasih pada masa lalu. Yang sering terjadi justru orang berlomba-lomba menghapusnya dan mengganti dengan versi yang lebih gemerlap.
(kutipan percakapan Wikan dan Tomo, tokoh dalam novel Imperia karya mas Akmal Nasery Basral..Maaf ya Mas, ngutipnya ga pake izin)

Kenapa tiba-tiba membahas masa lalu ya?? Mungkin karena belakangan ini banyak hal yang mengingatkan saya dengan masa lalu. Atau tepatnya banyak bagian dari masa lalu yang kembali menghampiri saya. Belum lagi beberapa teman yang tiba-tiba bilang sedang punya masalah dengan bagian dari masa lalunya atau malah sedang dihantui oleh masa lalunya. Sebut saja X, lewat obrolan di YM dia bertanya pada saya pernahkah saya merasa dihantui oleh masa lalu. Karena dia benar-benar sedang merasa demikian. Dia bilang pernah melakukan kesalahan dan efek dari kesalahannya itu muncul sekarang ini, dan X tidak tahu apa yang harus dilakukan. Atau si Y yang sudah bertobat tidak mau pacaran lagi, namun tiba-tiba merasa dikejar-kejar terus oleh bayang-bayang seorang gadis yang dulu mengisi hari-harinya. (huehehe susah amat sih mo bilang mantan pacar aja :p) Saya juga mengalami hal yang sama, tiba-tiba kemaren teman lama saya mengabarkan bahwa seseorang yang dulu pernah dekat dengan saya (well,,’dekat’ dalam artian temen curhat, temen jalan, seseorang yang saya kagumi, intinya seseorang yang dulu penting buat saya- come on jangan ketawa dong bacanya, saya dulu juga kan pernah ABG hehehe..) sedang sakit keras.

Hmmm...complicated ya??? Mungkin bagi sebagian orang itu hal biasa, tidak perlu dibesar-besarkan. Then how it can be so complicated. Coz bagi X ataupun Y, bayang-bayang mantan pacar si Y itu atau kesalahan si X adalah bagian dari masa lalu yang menyeruak dan mungkin akan mengganggu keseimbangan tatanan kehidupan mereka yang sekarang. Tatanan kehidupan sebagai aktivis d****h yang baik. Betapa tidak, kesalahan X dimasa lalu (saya tak pernah tahu apa) membuat dia tak PD disebut aktivis d****h, membuat dia merasa tak lagi bisa optimal dalam beraktivitas. Lain lagi dengan Y, dia sangat takut kenangannya dengan si gadis akan merusak nilai amalan-amalannya. Dan itu membuat dia tak tenang, yang jeleknya malah membuat dia jadi terus-terusan kepikiran. Nah lo kumaha?? Well X dan Y mungkin hanya sebagian kecil dari mereka yang (merasa) punya masalah dengan masa lalunya. Ada lagi temen saya yang lebih parah, dia malah tak mau membahas tentang masa lalunya karena begitu suram ujarnya, tak layak untuk dikenang, hingga sampai sekarang 2 tahun saya mengenalnya, tak banyak yang saya tahu tentang latar belakangnya kecuali dia seorang yatim piatu.

Bagi sebagian orang masa lalu mungkin memang bisa menjelma hantu-hantu yang lebih mengerikan daripada dedemit, siluman atau jejadian yang kerap ditampilkan di sinetron-sinetron (sok) religi di TV-TV swasta belakangan ini. Itu jika kita mempersepsikannya demikian. Namun di sisi lain masa lalu juga adalah malaikat yang selalu mengajari kita sesuatu, mungkin kita pernah berbuat salah dulu tapi itu hal itu tak lantas membuat kita ’saklek’ menyandang gelar sebagai pendosa tuk seterusnya bukan. Masa lalu boleh saja suram, namun toh itu hanya bagian kecil dari kanvas besar kehidupan yang masih bisa kita lukis dengan warna-warni. Daripada bertindak seperti beberapa artis (aduh punten pisan, ini bukan judgement hanya hasil pengamatan dari nonton infotainment) yang ingin mengubur masa lalunya, akan lebih bijak jika masa lalu itu kita jadikan sahabat yang justru akan selalu mengingatkan. Kayak Ustad Jefri aja, bukannya mengubur masa lalunya, toh beliau justru memberikan yang lain pelajaran dengan masa lalunya itu. (Btw, yang jadi contoh ustadz Jefri soalnya nenek saya nge fans banget sama ustadz satu ini,,hehehe,,dasar udah nini-nini juga, seleranya tetep brondong :P)

Jadi daripada terus-terusan berusaha melupakan masa lalu (including kenangan dengan dia yang sedang sakit itu), akan lebih mudah jika saya memilih tuk berdamai dengan masa lalu, mungkin sebagian dari masa lalu itu akan muncul lagi dan menjadi kehidupan dari kehidupan saya sekarang, dan mungkin juga semuanya benar-benar tertinggal di waktu yang terlewat dan menjadi kenangan saja. Tapi ya sudah, toh pada akhirnya sebaik apapun kehidupan yang kita jalani sekarang, pada akhirnya hanya akan menjadi masa lalu juga di 10, 20, 30 tahun atau lebih yang akan datang.