Tuesday, May 16, 2006

The world is full of love

Beberapa hari lalu seorang adek curhat karena ia baru putus dengan pacarnya. Seorang teman bercerita dengan bingungnya karena tiba2 hatinya jadi deg2an tiap kali bertemu dengan seseorang, padahal mereka sudah kenal lama. Yang laen lagi merasa sedih karena merasa tak juga kunjung menemukan cinta sejatinya. Dunia dipenuhi cinta. Halah, jadi ikut2an bingung nih. Tiba2 ingin menulis tentang cinta. Domain bahasannya tidak universal, tapi lebih spesifik tentang cinta antara kaum adam dan hawa.

Rasa ketertarikan, kecenderungan tuk menyukai, kecondongan tuk saling memiliki, antara penghuni planet Mars dan Venus ini sudah ada dari zaman dulu. Kumpulan dan sensasi rasa yang lantas dinamakan cinta itu usianya bahkan lebih tua dari usia peradaban. Yang saya pahami, yang namanya cinta atau ketertarikan pada lawan jenis itu wajar. Katanya ustadz2 juga gitu kok :D Sesuai dengan fitrah. Dan sangat manusiawi pula jika kita punya kecenderungan tuk menyukai seseorang tertentu, yang menurut pandangan kita adalah yang terbaik dan cocok bagi kita. Tapi sekali lagi, itu dalam pandangan kita. Wallahualam dalam pandangan 4JJI. Karena sifatnya yang fitrah itu pulalah lantas menjadi manusiawi juga bagi kita tuk mencintai dan ingin dicintai. Sampai situ, buat saya masih bisa ditolerir.

Namun saat kemanusiawian itu lantas disalahkaprahkan menjadi sikap, tingkah laku dan rasa yang berlebihan. Masih layak kah kita sebut itu fitrah. Saat atas nama cinta, kita saksikan orang-orang yang mengumbar nafsunya, memupuk rasa ingin memiliki yang kompulsif, posesif, tak ingin lagi berpisah, saya jadi bertanya-tanya lagi, benarkah itu wajah cinta?? Seperti beberapa waktu lalu, saat saya dalam perjalanan pulang, di angkot ada pasangan muda naek, trus cowoknya memilih duduk di sebelah perempuan muda lain dan bukannya duduk di pinggir banget, terimpit antara bodi mobil dan bodi ceweknya, si cewek (pacarnya cowok itu) langsung melotot bete, nyubit sambil mendesiskan ancaman..”awas ya..mulai genit” Waduh, plis dong mbak, cemburu sih cemburu, tapi itu mah berlebihan kali. Atau saat reuni, seorang teman lama mengaku tak lagi perawan, karena pacarnya meminta ’you know what’ sebagai bukti cintanya.
Echa : ”trus lu mau?”.
Temen : ”ya gimana lagi, kalo nggak gw bakal diputusin”.
Echa : ”ya udah, mending putus aja kali”.
Temen: ”ga bisa cha, gw udah cinta banget”
Echa ” ooo..gitu ya” –mode bengong bin bingung on-
Jadi mikir lagi, benarkah itu wujud kefitrahan cinta.

Menurut ustadz Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya, pengertian cinta adalah perasaan jiwa, getaran hati, pancaran naluri, dan terpautnya hati orang yang mencintai pada yang dicintainya dengan semangat yang menggelora dan wajah yang selalu menampilkan keceriaan. Cie, definisinya gitu banget. Tapi mungkin memang gitu kali ya. Sebegitu dahsyatnya kata yang satu ini, sampe tiap hari bisa kita saksikan di TV, baca di koran, denger di radio ato bahkan liat di sekitar kita sendiri ada orang yang rela bunuh diri, ngelakuin hal2 konyol, mempermalukan diri sendiri, meniadakan kepercayaan dan prinsip yang dipegang, melepaskan sesuatu yang diyakini, demi sesuatu yang disebut cinta. Saya jadi makin bingung lagi. Kok bisa sih? Ga tau ya, kadang2 nggak make sense aja buat saya. Iya kalo emang ntar tuh orang -yang karena cintanya kita kepadanya lantas membuat kita rela melakukan apa saja, termasuk melepaskan sesuatu yang sangat berharga- memang jodoh kita, lah kalo nggak, bukannya rugi ya. Ato memang tak ada lagi itung2an untung rugi dalam cinta model ini. Coz (katanya) life is blind. Cinta itu tidak butuh rasio tapi perasaan, ga pake mikir tapi pake hati. Buktinya aja, cinta selalu diidentikkan dengan gambar hati dan bukan otak. Huhu..makin bingung lagi. Walaupun ga bisa disangkal kalo cinta juga bisa jadi sarana motivasi, sumber inspirasi dan kreasi hingga dapat memunculkan hal-hal baik, dengan catatan cinta yang ada itu juga diarahkan secara positif. (ini sih katanya psikolog di kolom konsultasi psikologi majalah –saya lupa- yang pernah saya baca –dulu- )

Jadi inget, kalo kata teteh saya, satu2nya labuhan bagi cinta antar lawan jenis adalah pernikahan. Titik. (Btw, saya ga nyalahin apalagi benci orang2 yang pacaran kok, buat saya itu pilihan) Tapi satu hal yang saya yakini, bahwa sesungguhnya cinta apapun, pada siapapun adalah cabang dari cinta kita kepada Tuhan. Karena saat kita mencintai yang diciptakan, pada prinsipnya hal itu adalah wujud cinta kepada pencipta sesuatu itu, pengakuan atas keindahan karnyaNYA. Analoginya saat kita menyukai suatu lukisan atau musik, lantas kita juga memuji pelukisnya, mengagumi pengaransemennya. Begitu juga dengan cinta pada manusia, meski kita kadang tak menyadarinya. Dulu pas SMU, seorang temen saya akhwat, anak rohis, pernah bilang ke saya ”coba echa bayangin, kalo yang kita sukai itu aja sangat indah, betapa jauh lebih indahnya Dia yang menciptakan sesuatu yang indah itu”. Hehe..makasih nasehatnya Yik, baru ngeh sekarang. Implikasinya, selama masih ada yang dicipta dan Yang Mencipta, maka cinta kan selalu ada. Welcome to the world which full of love. At the end, masih ga bisa mendefinisikan apa sih cinta itu sebenernya. :(

-sedang dan terus belajar mencinta hanya karenaNYA-

Sunday, May 14, 2006

soundtrack of the week

This is my soundtrack of d week. I found it in my homemate MP3 list. I don’t even know who the singer is, but I do like it. Its just a simple song, with a simple lyrics and simple melody, but with a deep meaning (for me at least). Funny to realize that a simple nice song from an unknown singer could give u a smashing spirit to face the world. I'm so going to rain bunches of deep, humble thanks to Letto (is it a person or band? haven’t seen the videoclip yet) who gave me an energy to hold my head up high and say “ayo echa semangat, u can face it”

SAMPAI NANTI
kalau kau pernah takut mati
sama.........
kalau kau pernah patah hati
aku juga iya

dan seringkali
sial dtg dan pergi
tanpa permisi kepadamu
suasana hati
tak peduli.......

kalau kau kejar mimpimu
slalu...........
kalau kau ingin berhenti ingat tuk mulai lagi
tetap semangat
dan teguhkan hati disetiap hari
sampai nanti

kadang memang cinta yang terbagi
kadang memang.........
seringkali mimpi tak terpeduli
seringkali........

tetap semangat
dan teguhkan hati disetiap hari
sampai nanti
tetap melangkah
dengan kerasnya hati di setiap hari
sampai nanti

Kemiskinan yang Tersistematisasi

Kemaren dapet kabar sedih. Bayinya seorang teteh yang saya kenal meninggal dunia. Ini kali kedua teteh itu kehilangan buah hatinya. Semuanya dalam usia sangat dini. Kasusnya sama, mereka lahir prematur dan butuh perawatan intensif serta harus tinggal di inkubator. Tapi karena teteh tak punya uang, mau tak mau bayi tak berdosa itu harus dibawa pulang. Yang pertama meninggal dalam pelukan teteh ketika baru berusia beberapa hari. Belajar dari pengalaman, saat melahirkan anak kedua, pasangan muda itu membeli lampu belajar sebagai pengganti inkubator. Tapi udara dingin yang menusuk, dan kondisi badan yang rentan memang bukan perpaduan yang apik. Setelah sempat bertahan kurang lebih satu bulan, si adek –begitu kami memanggilnya, karena memang belum sempat diberi nama, padahal kemaren2 saya semangat banget nyariin nama buat dia- dipanggil juga ke hadiratNYA. Ternyata 4JJI begitu sayang dengan si adek.

Bukan..bukan takdir 4JJI yang ingin saya pertanyakan, tapi keberadaan sistem dengan entitas-entitas yang berkolaborasi, saling membentuk hubungan sebab akibat, jalin menjalin menciptakan kondisi yang membuat si adek tak bisa bertahan, itu yang membuat saya miris. Jika ditanya mengapa tak dirawat saja di RS, jawabannya simpel, tak ada uang untuk membayar biaya perawatan. RS juga tak mau memberikan layanan cuma-cuma, bahkan diskon baru akan diberikan jika si teteh bisa menunjukkan kartu miskin. Birokrasi tuk mendapatkan kartu itu pun tak gampang, tak cukup waktu seharian tuk mendapatkannya. Believe it or not. It just happened in front of my eyes. Banyak sekali tetek bengek yang harus dibereskan. Trully. Cari informasi di situs resmi Jaring Pengaman Sosial, tak kami dapatkan informasi yang membantu. HUH...buat apa ada situs, kalo tidak memberikan informasi. Cuma sok-sokan aja ada. EKSIS gitu. Bisa diakses kapan saja. Tapi tidak berguna!!!

Jika kita runut lagi, kita mungkin bertanya, mengapa si suami tak bisa menyediakan uang yang dibutuhkan. Bukankah itu tanggung jawab kepala keluarga. Sayang sekali kawan, suami teteh tersebut kira2 tiga bulan yang lalu dipecat (bahasa halusnya :DIRUMAHKAN, orang Indonesia ini memang paling jago ber eufemisme-ria) dari kerjaannya sebagai cleaning service di salah satu pusat perbelanjaan teramai di Bandung. Alasannya jelas. Stated clearly by the supervisor. EFISIENSI!!! (Saya jadi inget pegawai2 ITB, gimana nasib mereka ya??!!) Entahlah memang itu alasan sebenarnya, ataukah hanya akal2an pemilik pusat belanja tersebut tuk mengeruk untung lebih banyak. Wallahualam. Aa’ (suaminya teteh) jelas tak bisa menolak, toh dia hanya lulusan SMP.

Lagi-lagi kita bisa bilang, ”Aa’ sih sekolahnya cuma sampe SMP, makanya ga bisa dapet kerjaan yang bagus. Ga bisa memperbaiki kehidupan keluarga”. ”Coba kalo kuliah di ITB, kan terjamin tuh” (haha,,sounds familiar right? Adagium yang populer sekali, n it WAS works for me too). Sekali lagi kawan, maaf-maaf saja..sekolah ternyata bukan lagi milik publik. Biaya SPP; seragam; beli LKS; beli buku+diktat guru (yang kalo ga dibeli dijamin nilai Anda di rapor ga kan pernah bagus) btw untuk kasus ini ga nyalahin gurunya juga sih, dengan tingkat kenaikan gaji aktual yang selalu di bawah actual value nya kenaikan sembako (I mean, keliatannya persentasenya gede, tapi kalo pake analisis IRR, net present worth, dkk yang ada di Ekonomi Teknik itu, nilainya ternyata tidak signifikan..sok2 an gini euy) mungkin memang itu satu2nya tambahan pendapatan buat mereka; belum lagi biaya lain-lain membuat sekolah menjadi tempat mahal bagi sebagian orang, termasuk si Aa’. Nah lo..gimana sih, wajar dong kalo sekolah mahal?? Dimana-mana yang namanya kualitas sebanding dengan ongkos, itu yang saya pelajari di TI. Selalu ada trade off disana, kalo mo bagus ya harus keluar biaya lebih. Memang ada titik optimal disana. Tapi emang ada yang capek-capek mau ngitungin. Mending kalo udah ditentukan, trus implementasi dari suntikan dana itu emang membuat kualitasnya meningkat. Lah kalo enggak. Kan sayang banget. Itu kalo di kuliah Analisis Biaya namanya pengalokasian biaya yang tidak tepat dan harus direduksi.

Akhirnya begitu saja, si Aa’ dan Teteh hanya bisa pasrah, emang udah turunan miskin ceunah (bhs Sunda= katanya). Menurut mereka, mungkin lebih baik begini. Masih bayi saja mereka sudah tak mampu membiayai. Gimana nanti kalo si adek beranjak dewasa, pengen maenan, butuh pakaian, mo masuk sekolah, toh bagi Aa’ dan Teteh hanya mimpi tuk menyekolahkan anaknya sampe kuliah apalagi ke ITB (huhuhu..lagi-lagi tertohok). Bukan..bukan mereka tak mau berusaha. Kepasrahan mereka pun hadir setelah ikhtiar, tak hanya sekedar berserah.

Jadi apalagi pertanyaan yang bisa kita ajukan?? Kenapa sekolah mahal? Kenapa birokrasi di negeri ini begitu kompleks? Kenapa tak ada RS gratis untuk rakyat? Dan berjuta TANYA KENAPA (ini bukan iklan rokok kawan!!) Ini bukan kemiskinan turunan. Tapi kemiskinan yang tersistematiskan. Setiap bayi yang baru lahir di republik ini langsung dapet bon utang 5juta rupiah. Benarkah itu turunan?? Orangtuanyakah yang meminjam uang itu. Utang yang entahlah apakah memang benar pernah mereka rasakan manfaatnya. Wong kalo katanya Pareto (eh btw, yang bikin diagram Pareto siapa sih?? :P) dari hasil penelitian ternyata yang menguasai 80% kekayaan di dunia itu hanya 20 % penduduk dunia saja. Dan mereka yang termasuk 20% itu tentu saja dengan semangat sentosanya berkongsi, beraliansi dan membuat sistem yang akan melanggengkan dominasi mereka itu. Hingga begitulah, yang kaya makin kaya, yang miskin ya begitu-begitu saja. Karena memang sistemnya sudah dirancang begitu, sustainable. Jadi inget pengakuannya Om Perkins (hehe..sok akrab), dunia ini sebenarnya diatur oleh segelintir orang saja. Jadi penasaran, apakah ini bagian dari skenario mereka?? Yang jelas, ini pasti skenario 4JJI. Hehe..rileks guys, saya tidak sedang ingin berkampanye tentang Anti Kapitalisme, Sosialisme ato Marxisme or whatever, emang lagi sebel dan sedih aja. Thats it!!!!

Tulisan yang aneh (baca dengan intonasinya Tora :D). Pengen bikin sekolah gratis.. Pengen punya perusahaan multinasional.. Pengen ini..pengen itu.. pengen cepet-cepet lulus.. (tapi ntar ngapain L, gpp deh yg penting doain ya)

Friday, May 12, 2006

Desperately Seeking Paradise (Ziauddin Sardar)




“Buku yang menantang ini tidak hanya bertindak sebagai sebuah tuntunan bagi kaum muslimin namun juga memberikan wawasan dan klarifikasi bagi mereka yang berada di luar Islam.” Financial Times


Dalam perjalanan pergi ke kampus, dalam angkot jurusan Caheum-Ledeng yang sesak padat (full 7-5), duduk di depan saya seorang ibu dengan dua orang anaknya yang lucu-lucu. Yang lebih tua laki-laki, umurnya sekitar 4-5 tahun. Adeknya perempuan, sekitar 2 tahun dengan kerudung orange lucu duduk di pangkuan ibunya. Mereka berdua tampak sangat akrab, sepanjang jalan mereka berceloteh dengan gembira. Saya hanya menikmati pemandangan menyenangkan itu, hal ini bagus untuk mood saya sebelum menghadapi hari yang penuh. Tepat di depan gedung Annex, abangnya mengajak adeknya tuk bernyanyi. Lagunya “satu-satu” tapi yang versi TPA. Jadinya liriknya gini :
Satu-satu aku cinta 4JJI.........
Dua-dua cinta Rasulullah........
Tiga-tiga cinta ayah bunda......
Satu dua tiga jalan masuk surga

Mendengar bait terakhir dari lagu mereka, jalan masuk surga...saya jadi inget buku pinjeman yang keren banget. Judulnya Desperately Seeking Paradise :Kisah Perjalanan Hidup Seorang Muslim Skeptis. Penulisnya Ziauddin Sardar, seorang pakar IT, wartawan dan dosen muslim yang lahir di Pakistan dan besar di London. Sudah lama banget pengen nulis tentang buku ini, so here we go.

Kisah tentang pencarian memang selalu menarik bagi saya. Sebut saja The Alchemist, Road To Mecca, Sejarah Tuhan –Karen Armstrong, dll. Semuanya menarik. Desperately Seeking Paradise sendiri bagi saya sangat istimewa. Dibaca saat saya memang sedang butuh ‘sesuatu’ seperti itu (makasih VaJ). Baru 5 menit membacanya, saya sudah memutuskan buku ini terdaftar dalam My Most Favourite Books List. Berisi fragmen-fragmen perjalanan penulis dalam usahanya mencari dan menemukan surga, surga yang bahkan dia sendiri belum bisa mendefinisikannya. Diawali dengan bab Surga Yang Dibangkitkan, penulis memulai kisahnya dengan menggambarkan kondisi masjid di Glasgow, Inggris. Menurut nalar saya, bisa dimengerti kenapa penulis mengawali kisah pencariannya dengan bercerita tentang masjid, karena dalam Islam sendiri masjid diakui sebagai rumah 4JJI, tempat dimana kita cenderung akan lebih merasa dekat denganNYA. Seperti ditulis di bukunya ”...Adalah hal biasa, jika orang-orang ditimpa masalah, masjid menawarkan pelarian materil maupun spiritual, nyata maupun tidak”. Dan masih menurut nalar saya mungkin merupakan tempat paling sempurna bagi titik start dan (mungkin juga) finish bagi para pencari surga.

Fragmen pertama bercerita tentang pengalamannya dengan Jamaah Tabligh. Setelah sempat bergabung –karena rasa ingin tahunya yang sangat kuat- dan ikut serta dalam sebuah chilla atau aksi dakwah 40 hari mereka, penulis menemukan bahwa ini bukanlah jalannya. Hal ini bisa dilihat dari tulisannya ” Kelihatannya pengikut Tabligh tidak menawarkan atau memikirkan ketidakadilan yang tengah berlangsung, ngerinya penderitaan, ketidakpedulian akan keadaan sekitar dan penghancuran hidup banyak orang di berbagai negara, terutama dunia Islam. Mereka selamat dari kepedihan di dunia ini melalui kilau kepuasan dan ketenangan total. Bukankah kita, aku pikir, harus berusaha untuk membuat ’surga’ di dunia ini? Kalau membuat dunia ini lebih baik, kita akan lebih menghargai surga, jika kita di akhirat menjumpai surga.”

Di bab-bab berikutnya juga diceritakan bagaimana persentuhan penulis dengan gerakan-gerakan Islam lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Islamiah. Tak lupa kritik-kritiknya terhadap gerakan-gerakan tersebut. Interaksinya dengan sufisme juga menjadi satu bab tersendiri yang sangat menarik.

Buku ini juga sangat kaya, penuh sejarah dan pengetahuan. Mulai dari sejarah tokoh, gerakan Islam, Perang Salib, hingga Osama Bin Laden. Bahkan nama Saddam Hussein pun ada. Tak semuanya keluar dari mulut penulis, banyak juga yang didapatkan dari teman atau tokoh yang ditemuinya dalam perjalanannya. Misalnya saja, saat berkunjung ke Teheran, penulis bepergian bersama teman lamanya seorang doktor sejarah Islam dengan spesialisasi sejarah wangsa Ismailiyah -yang akhirnya menurunkan penulis ditengah jalan, karena kesal dengan kritikan penulis terhadap imamnya-. Sepanjang perjalanan, temannya itu bercerita banyak tentang pertentangan antara kaum Sunni dan Syiah, cerita kaum Hassassin (Ordo Kaum Pembunuh), yang saya sendiri baru tau dari novel Da Vinci Code, dan banyak lagi lainnya. Selain itu, hal yang juga saya sukai saat membaca buku ini adalah bagaimana penulis bisa mengajak saya membayangkan tempat-tempat yang dikunjunginya, membuat saya benar-benar merasa berada di wilayah Timur Tengah dan melihat sendiri kejadian demi kejadian.

Hal yang tak kalah menarik adalah saat mencermati pergolakan pemikiran penulis, keskeptisannya justru menjadi core buku ini, bagaimana dia tak pernah mau langsung menerima apa yang ditemuinya, bagaimana dia tak pernah berhenti melontarkan kritik, meski dia menyadari sepenuhnya bahwa hal tersebut kadang-kadang justru menyulitkannya. Namun, satu hal yang juga perlu dicermati adalah meskipun terus mengkritik namun dia tak lantas tinggal diam dan hanya menjadi penonton, dia memilih dan mengcreate caranya sendiri tuk terus berpartisipasi dan menjadi bagian dari solusi. Tak seperti mental orang Indonesia yang kebanyakan bisanya cuma OmDo alias Omong Doang. Astaghfirullah, semoga kita nggak gitu ya. Satu hal lagi yang juga menjadi catatan adalah kekonsistenannya tuk terus mencari. ”Kembali lagi ke jalan, aku berpikir. Aku tak dapat malakukan apa-apa kecuali hidup dengan metafora. Surga menungguku. Dan, sekali lagi, dengan teman lama dan teman baruku. Aku berjalan lagi. Tapi ini cerita lain” (kutipan dari halaman terakhir buku)

Saking inspiringnya buku ini, saya sampe merelakan duit saya yang udah pas-pasan banget habis buat beli buku ini. Bukunya bisa didapet dimana-mana kok, tapi saran saya mending beli di toko buku belakang Salman, lebih murah, jadinya cuma 45ribu, abis dari sana bisa langsung mampir ke warung Boemboe&Botram! di Gelap Nyawang (hehehe..skalian promosi). Resensi yang sangat subjektif sih, tapi semoga bisa menjadi referensi bagi mereka yang suka baca dan juga sedang ’mencari’. Wallahualam bisshowab.

Dimana letak surga itu???? (Agnes Monica)...
Mungkin Agnes juga kudu baca buku ini kali ya.. :P