Friday, April 4, 2008

Saudagar Buku dari Kabul



Sharifa menarik nafas panjang. Dia teringat pada hukuman yang menimpa tetangganya, Jamila.
Jamila berasal dari keluarga terpandang, kaya raya, selalu berpenampilan apik, dan cantik secantik bunga. Seorang kerabat telah menyisihkan uang yang diperolehnya di luar negeri sehingga mampu mendapatkan gadis cantik berusia delapan belas tahun itu. Upacara pernikahannya luar biasa, lima ratus orang tamu, makanan berlimpah dan mempelai wanita tampak sangat cantik. Jamila tidak mengenal lelaki yang akan menikah dengannya sampai hari pernikahan itu tiba; para orangtualah yang mengatur segalanya. Mempelai pria, lelaki kurus dan tinggi berusia empat puluhan tahun, dating dari luar negeri untuk menikah dengan adapt Afganishtan. Dia dan Jamila menghabiskan waktu dua minggu bersama-sama sebagai pengantin baru sebelum dia pergi lagi untuk mengurus visa agar Jamila bisa ikut bersamanya. Sementara itu, Jamila tinggal bersama kedua kakak lelaki suaminya dan istri-istri mereka.
Mereka menagkap basah Jamila tiga bulan kemudian. Polisi yang mengabarkan berita tentang dirinya. Mereka melihat seorang lelaki merangkak masuk lewat jendela kamar Jamila.
Mereka tak pernah berhasil menangkap lelaki itu, tapi dua orang saudara lelaki suaminya menemukan benda milik lelaki itu di kamar Jamila, bukti adanya hubungan tersebut. Keluarga segera membatalkan pernikahan yang sudah terjadi dan mengusirnya pulang ke rumahnya sendiri. Jamila dikunci selama dua hari sementara keluarga berunding.
Tiga hari kemudian, kakak lelaki Jamila memberi tahu para tetangga bahwa adiknya meninggal karena tersengat listrik dari kipas angina yang korsleting.
Upacara pemakaman dialngsungkan keesokan harinya; banyak bunga, banyak wajah murung,. Ibu dan saudara-saudara perempuan tak bisa dihibur. Semuanya berduka karena Jamila mati muda.
“Seperti pernikahannya,” kata mereka, “pemakamannya juga istimewa.”
Kehormatan keluarga telah diselamatkan.
Sharifa punya video pernikahan itu, tapi kakak lelaki Jamila datang meminjamnya. Video itu tak pernah dikembalikan. Tak ada bekas apa pun yang menyiratkan bahwa pernikahan itu pernah terjadi. Tapi, Sharifa menyimpan beberapa foto. Pasangan pengantin itu tampak formal dan serius ketika memotong kue pengantin. Wajah Jamila tidak menyembunyikan apa pun dan dia tampak cantik mengenakan baju pengantin putih dan cadar, berambut hitam dan bibirnya merah.
Sharifa menarik napas panjang. Jamila melakukan perbuatan terlarang yang amat serius, tapi lebih karena dia ceroboh, bukan karena hatinya culas.
“Dia tak seharusnya mati begini cepat, tapi Allah yang menentukan,” gumam Sharifa, lalu membacakan doa.
Akan tetapi, ada satu hal yang mengganggu pikirannya: hanya dibutuhkan dua hari perundingan keluarga ketika Ibu Jamila, ibu kandungnya sendiri, setuju untuk membunuhnya. Dia, si ibulah, yang pada akhirnya menyuruh ketiga putranya untuk membunuh putrinya. Para kakak lelaki ini masuk ke kamar adiknya bersama-sama. Bersama-sama pula mereka membekap adiknya dengan bantal, membekapnya dengan keras dan semakin keras, sampai hidupnya berakhir.
Kemudian, mereka kembali menemui ibu mereka.
------------------------------------------------------------------------------------

Frame di atas adalah penggalan kisah yang ada pada novel “Saudagar Buku dari Kabul” karya Asne Seierstad. Sebuah novel yang menarik menurut saya. Ditulis berdasarkan pengalaman penulis menghabiskan musim semi bersama keluarga Sultan Khan (tokoh utama novel ini).

Gaya bahasanya menarik dan mudah dipahami. Bercerita tentang kelurga Sultan Khan seorang saudagar buku, yang sangat mencintai buku-bukunya. Menarik melihat kecintaan saudagar buku tersebut untuk melindungi buku-bukunya selama perubahan rezim yang terjadi di Afghanistan. Betapa demi melindungi buku-bukunya beliau rela mencoret-coret gambar-gambar yang ada dalam buku tersebut dengan spidol hitam, atau menutupinya dengan menempelkan kartu nama di halaman buku agar buku-buku tersebut tidak disita dan dihancurkan. Menarik pula melihat bagaimana Sultan Khan menangis saat buku-bukunya dibakar, namun tetap bersemangat untuk mempertahankan koleksi bukunya.

Novel ini juga banyak bercerita tentang perempuan, dan kebanyakan tentang penderitaannya. Mulai dari Shafira, istri Sultan Khan, yang menjadi korban poligami, para perempuan yang pernikahannya menjadi ajang transaksi jual beli, seolah mereka tidak bermakna kecuali seharga mahar mereka dan kesanggupan suaminya ‘membeli’ mereka. Atau ada juga kisah tentang betapa perempuan disana harus menjaga diri dengan seketat-ketatnya, hingga tak boleh melakukan hal-hal terlarang seperti misalnya diceritkan dalam frame diatas, atau bagaimana para perempuan disana sangat menderita karena harus menggunakan burkak (cadar dan baju panjang tertutup) sehari-hari. Hal ini, menurut saya, terkait dengan latar belakang penulis yang berasal dari Barat ( beliau berasal dari Norwegia). Hal ini tentu saja sangat mempengaruhi pola pikir dan sudut pandangnya. Penulis yang sangat akrab dengan kesetaraan gender dan kebebasan hak asasi manusi tentu merasa ‘gerah’ dan ‘kurang sreg’ dengan apa yang terjadi dengan nasib kaum perempuan disana. Namun, di sisi lain saat membaca novel ini kita juga harus mampu bersikap objektif dan terbuka. Bahwa apa yang ditampilkan bukanlah seluruhnya potret Islam. Mungkin disana akan tampak bahwa hukum Islam begitu mengerikannya, namun toh tidak demikian adanya. Membaca novel ini membuat saya bersyukur karena saya tinggal di Indonesia, namun juga tersentuh dan sedih atas apa yang dihadapi saudara-saudara di sana, sekaligus berpikir ulang bahwa benar adanya agama itu harus dipahami dan diamalkan secara kaafah dan keseluruhan, tidak parsial agar kita tak menjelma menjadi manusia yang merasa diri paling benar. Wallahualam.

Over all, menurut saya novel ini sangat bagus dan worth it untuk dibaca. Selamat membaca. Ditunggu komentarnya juga. 

4 comments:

Adit-bram said...

waaa....

diriku pernah punya novel ini..tapi entah kemana...padahal blum selesai di baca...

ini buku echa atau buku saya cha...hehehhe maap maap maap...sekedar bertanya....

Anonymous said...

gw bingung nyari buku ini di tempat gw skr... gak tau dmn di jualnya :p.

Anonymous said...

poor Jamila...
seandainya saja

Unknown said...

Jamila,, andai dikau datang ke Indonesia..

Pasti udah jadi artis,, dan nggak perlu dibunuh oleh ibu sendiri..