Friday, May 12, 2006

Desperately Seeking Paradise (Ziauddin Sardar)




“Buku yang menantang ini tidak hanya bertindak sebagai sebuah tuntunan bagi kaum muslimin namun juga memberikan wawasan dan klarifikasi bagi mereka yang berada di luar Islam.” Financial Times


Dalam perjalanan pergi ke kampus, dalam angkot jurusan Caheum-Ledeng yang sesak padat (full 7-5), duduk di depan saya seorang ibu dengan dua orang anaknya yang lucu-lucu. Yang lebih tua laki-laki, umurnya sekitar 4-5 tahun. Adeknya perempuan, sekitar 2 tahun dengan kerudung orange lucu duduk di pangkuan ibunya. Mereka berdua tampak sangat akrab, sepanjang jalan mereka berceloteh dengan gembira. Saya hanya menikmati pemandangan menyenangkan itu, hal ini bagus untuk mood saya sebelum menghadapi hari yang penuh. Tepat di depan gedung Annex, abangnya mengajak adeknya tuk bernyanyi. Lagunya “satu-satu” tapi yang versi TPA. Jadinya liriknya gini :
Satu-satu aku cinta 4JJI.........
Dua-dua cinta Rasulullah........
Tiga-tiga cinta ayah bunda......
Satu dua tiga jalan masuk surga

Mendengar bait terakhir dari lagu mereka, jalan masuk surga...saya jadi inget buku pinjeman yang keren banget. Judulnya Desperately Seeking Paradise :Kisah Perjalanan Hidup Seorang Muslim Skeptis. Penulisnya Ziauddin Sardar, seorang pakar IT, wartawan dan dosen muslim yang lahir di Pakistan dan besar di London. Sudah lama banget pengen nulis tentang buku ini, so here we go.

Kisah tentang pencarian memang selalu menarik bagi saya. Sebut saja The Alchemist, Road To Mecca, Sejarah Tuhan –Karen Armstrong, dll. Semuanya menarik. Desperately Seeking Paradise sendiri bagi saya sangat istimewa. Dibaca saat saya memang sedang butuh ‘sesuatu’ seperti itu (makasih VaJ). Baru 5 menit membacanya, saya sudah memutuskan buku ini terdaftar dalam My Most Favourite Books List. Berisi fragmen-fragmen perjalanan penulis dalam usahanya mencari dan menemukan surga, surga yang bahkan dia sendiri belum bisa mendefinisikannya. Diawali dengan bab Surga Yang Dibangkitkan, penulis memulai kisahnya dengan menggambarkan kondisi masjid di Glasgow, Inggris. Menurut nalar saya, bisa dimengerti kenapa penulis mengawali kisah pencariannya dengan bercerita tentang masjid, karena dalam Islam sendiri masjid diakui sebagai rumah 4JJI, tempat dimana kita cenderung akan lebih merasa dekat denganNYA. Seperti ditulis di bukunya ”...Adalah hal biasa, jika orang-orang ditimpa masalah, masjid menawarkan pelarian materil maupun spiritual, nyata maupun tidak”. Dan masih menurut nalar saya mungkin merupakan tempat paling sempurna bagi titik start dan (mungkin juga) finish bagi para pencari surga.

Fragmen pertama bercerita tentang pengalamannya dengan Jamaah Tabligh. Setelah sempat bergabung –karena rasa ingin tahunya yang sangat kuat- dan ikut serta dalam sebuah chilla atau aksi dakwah 40 hari mereka, penulis menemukan bahwa ini bukanlah jalannya. Hal ini bisa dilihat dari tulisannya ” Kelihatannya pengikut Tabligh tidak menawarkan atau memikirkan ketidakadilan yang tengah berlangsung, ngerinya penderitaan, ketidakpedulian akan keadaan sekitar dan penghancuran hidup banyak orang di berbagai negara, terutama dunia Islam. Mereka selamat dari kepedihan di dunia ini melalui kilau kepuasan dan ketenangan total. Bukankah kita, aku pikir, harus berusaha untuk membuat ’surga’ di dunia ini? Kalau membuat dunia ini lebih baik, kita akan lebih menghargai surga, jika kita di akhirat menjumpai surga.”

Di bab-bab berikutnya juga diceritakan bagaimana persentuhan penulis dengan gerakan-gerakan Islam lainnya seperti Ikhwanul Muslimin dan Jamaah Islamiah. Tak lupa kritik-kritiknya terhadap gerakan-gerakan tersebut. Interaksinya dengan sufisme juga menjadi satu bab tersendiri yang sangat menarik.

Buku ini juga sangat kaya, penuh sejarah dan pengetahuan. Mulai dari sejarah tokoh, gerakan Islam, Perang Salib, hingga Osama Bin Laden. Bahkan nama Saddam Hussein pun ada. Tak semuanya keluar dari mulut penulis, banyak juga yang didapatkan dari teman atau tokoh yang ditemuinya dalam perjalanannya. Misalnya saja, saat berkunjung ke Teheran, penulis bepergian bersama teman lamanya seorang doktor sejarah Islam dengan spesialisasi sejarah wangsa Ismailiyah -yang akhirnya menurunkan penulis ditengah jalan, karena kesal dengan kritikan penulis terhadap imamnya-. Sepanjang perjalanan, temannya itu bercerita banyak tentang pertentangan antara kaum Sunni dan Syiah, cerita kaum Hassassin (Ordo Kaum Pembunuh), yang saya sendiri baru tau dari novel Da Vinci Code, dan banyak lagi lainnya. Selain itu, hal yang juga saya sukai saat membaca buku ini adalah bagaimana penulis bisa mengajak saya membayangkan tempat-tempat yang dikunjunginya, membuat saya benar-benar merasa berada di wilayah Timur Tengah dan melihat sendiri kejadian demi kejadian.

Hal yang tak kalah menarik adalah saat mencermati pergolakan pemikiran penulis, keskeptisannya justru menjadi core buku ini, bagaimana dia tak pernah mau langsung menerima apa yang ditemuinya, bagaimana dia tak pernah berhenti melontarkan kritik, meski dia menyadari sepenuhnya bahwa hal tersebut kadang-kadang justru menyulitkannya. Namun, satu hal yang juga perlu dicermati adalah meskipun terus mengkritik namun dia tak lantas tinggal diam dan hanya menjadi penonton, dia memilih dan mengcreate caranya sendiri tuk terus berpartisipasi dan menjadi bagian dari solusi. Tak seperti mental orang Indonesia yang kebanyakan bisanya cuma OmDo alias Omong Doang. Astaghfirullah, semoga kita nggak gitu ya. Satu hal lagi yang juga menjadi catatan adalah kekonsistenannya tuk terus mencari. ”Kembali lagi ke jalan, aku berpikir. Aku tak dapat malakukan apa-apa kecuali hidup dengan metafora. Surga menungguku. Dan, sekali lagi, dengan teman lama dan teman baruku. Aku berjalan lagi. Tapi ini cerita lain” (kutipan dari halaman terakhir buku)

Saking inspiringnya buku ini, saya sampe merelakan duit saya yang udah pas-pasan banget habis buat beli buku ini. Bukunya bisa didapet dimana-mana kok, tapi saran saya mending beli di toko buku belakang Salman, lebih murah, jadinya cuma 45ribu, abis dari sana bisa langsung mampir ke warung Boemboe&Botram! di Gelap Nyawang (hehehe..skalian promosi). Resensi yang sangat subjektif sih, tapi semoga bisa menjadi referensi bagi mereka yang suka baca dan juga sedang ’mencari’. Wallahualam bisshowab.

Dimana letak surga itu???? (Agnes Monica)...
Mungkin Agnes juga kudu baca buku ini kali ya.. :P

1 comment:

Anonymous said...

ya echa, gue juga suka buku ini, tapi terus terang gue belum baca terjemahan indonesianya, ini skrg lagi ngulang baca buku itu, pertama baca yg lucu memang di bab 1 yg tukang sapu itu lho...dan yg nendang memang yg ketika mereka datang ke seorang dokter di glasgow yah...setuju gak?