Thursday, April 20, 2006

Ke(tak)bermaknaan

Krisis makna hidup
senantiasa melintasi setiap fragmen peradaban
dan menyentuh setiap sisi roda sejarah
dengan cirinya masing-masing.
—Tyler Durden

Seorang teman mengirim pesan via FS, isinya seperti ini:
Hai, cha! Masih ceriakah dunia lo disana?? Gue sedang bingung, ga berdaya, ga tau harus ngapain, dunia terasa makin sempit. Bernapas pun makin sulit. Kuliah gue juga terancam gagal. Serasa pengen mati aja. (ampun dah..bahasanya hiperbolis amat ya,,hehe piss men!!)

Kaget membaca pesan yang bernada hopeless itu, langsung saya membalas, menanyakan ada apa dengannya. Tak lupa mengirim sms serta melakukan teror miskol sepanjang hari karena sms yang tak kunjung dibalas. Beberapa hari kemudian baru saya menerima balasan lagi via FS. Tak banyak yang dia sampaikan. Intinya dia sedang merasa bahwa hidupnya tak lagi bermakna.

Kebermaknaan mungkin merupakan hal yang paling esensial dalam hidup manusia. Bahkan diskursus dan pergulatan pemikiran para filsuf dari zaman Socrates hingga saat ini, berakar dari pertanyaan tentang kebermaknaan hidup dan kebermaknaan kita sebagai manusia. Hampir pasti (there still be a chance for exception) , setiap manusia di muka bumi ini akan mengalami fase tersebut. Fase searching for meaning. No matter how tough u are. And maybe in that phase, someday u’ll fall. Terpuruk pada titik nadir ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan. Terasing, karena dalam hidup yang serba modern ini, kita acapkali terjebak pada budaya hedonis dan konsumeris, secara sadar atau tidak kita didorong untuk memilih gaya hidup hasil rekayasa kepentingan para pemilik modal yang mau menumpuk laba secepatnya. Kita menjadi objek dan korban dari para "pedagang kesenangan". Sehingga yang muncul adalah keberagamaan dogmatik-formalistik. Diatur oleh aturan-aturan lama, dengan standar2 yang berlaku, bahwa kita harus lulus tepat waktu, abis itu kerja, nikah, bla bla bla. Sekedar melanjutkan tradisi orang tua. Hingga tak lagi sempat memikirkan hal lain dan tiba-tiba saja kita merasa hidup tak lagi bermakna. Some people can make it through, and some others getting drawn on it.

”Buat apa sih gw disini, kok ga ada bedanya sih ada ato ga ada gw” ”Halah TA belum beres, kerjaan laen ga kepegang, everythings seems mess” ”gw ngerasa hidup gw ga guna banget”. ”kok ga ada yang peduli sama gw”. Pertanyaan2 retoris atau statement semacam itu mungkin sering terlontar dari diri kita, dan menurut diagnosis sok ilmiah saya, hal itu menggambarkan gejala awal hidup tidak bermakna.

Mengutip dari Viktor Frankl, kehampaan makna hidup inilah yang disebut sebagai neurosis noogenic . Yakni, berbagai gejala gangguan neurosis yang bermula dari hidup tak bermakna berupa perasaan bosan, jenuh, hampa, putus asa, kehilangan minat dan inisiatif, hidup dirasakan sebagai suatu rutinitas belaka, tugas sehari-hari dirasakan sangat menjemukan, kehilangan gairah kerja, merasa tak pernah mencapai kemajuan, sikap acuh tak acuh, menipisnya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan, serta merasa tak berdaya menghadapi kehidupan..(kutipan selesai). Bisa dijelaskan secara ilmiah tentu. Pemicunya bisa beda2 tiap orang. Ada yang gara2 trauma karena mengalami kejadian tidak menyenangkan. Ada juga yang disebabkan belum tercukupinya kebutuhan paling atas dalam hierarki Maslow, which is self actualization. Dan ada juga yang disebabkan stagnansi, ketidak sinamisan hidup, berada dalam posisi atau organisasi yang sama dalam jangka waktu yang lama, istilahnya orang2 tarbiyah tuh jumud. And so on…

Katanya mah yang rentan mengalami neurosis noogenic ini adalah manusia modern. Termasuk kita dong ya?! Memang aneh manusia ini. Dengan kehidupan yang makin mudah, kita malah makin merasa tak bermakna. Then the point now is..how to overcome it?? Actually I don’t know exactly. I’m not a psychiatrist, remember. Tapi kalo kita baca buku The 8th Habit: From Effectiveness to Greateness-nya Stephen Covey ada true story tentang Muhammad Yunus, seseorang yang telah menemukan makna hidupnya saat dirinya mampu berbagi dengan orang-orang lain. Ceritanya bisa jadi inspirasi dan teladan karena ia telah mampu menemukan "suara (jiwa)"nya (voice) - sering juga disebut "panggilan jiwa", "panggilan hidup" atau "suara kemerdekaan" - yang tak lain adalah makna personal yang unik yakni kebermaknaan yang tersingkap ketika seseorang menghadapi tantangan-tantangan besar, dan yang membuat seseorang sama besarnya dengan tantangan itu. Mungkin kita juga sudah familier dengan kisah Mother Teresa - pemenang Nobel yang mengabdikan hidupnya untuk mereka yang sakit dan papa-. Dalam biografinya diceritakan bahwa saat-saat bersama penduduk di Calcutta adalah saat-saat dimana dia benar-benar menemukan makna hidupnya.

Kalo liat cerita diatas, kayanya makna hidup baru akan ditemukan saat kita melakukan hal-hal besar aja, namun menurut saya tak harus demikian. Ada mereka yang saya lihat begitu bahagia saat menjadi pembaca sukarela di panti tuna netra Wiyata Guna, mereka yang merasa punya arti saat berjuang di kabinet, kongres atau himpunan dan unit, ada juga seseorang yang merasa hidupnya begitu berarti setiap kali dia menyelesaikan tulisannya. Dan banyak lagi hal2 sederhana lainnya. Intinya mungkin terletak pada perubahan peradigma dimana kita tak lagi hanya bertanya2 apa makna hidup kita, tapi bagaimana lantas kita membuat keberadaan kita menjadi bermakna dimanapun kita berada. Can u see the difference?? Sulit sih, saya juga tau itu sulit, but we still have to try. That makes man a man, right. (no bias gender ya)

‘even in his most powerless, man existence will never without meaning’

Untuk temen yang mengirim pesan FS (smg lu baca) :
Wake up bro!!! gw tau lu bisa…its just a phase of u’r life. Cemen amat jd cowok (haha..gw tau lu paling anti dibilang gitu)

No comments: