Saturday, February 24, 2007

BALADA SI NCU

Alkisah, di suatu negeri nan indah, kaya nan megah, zamrud khatulistiwa orang menyebut namanya, di suatu wilayah bernama tanah Pasundan, hiduplah seorang anak bernama Ncu. Layaknya kanak-kanak lainnya, Ncu jalani hidup dengan keceriaan khas usianya, meski nasib tak berpihak padanya. Di negeri yang katanya tongkat kayu bisa jadi makanan ini, dia hidup bersama orang tuanya yang gepeng. Bukan, bukan Gepeng pelawak yang terkenal itu, tapi istilah buat gelandangan dan pengemis, profesi yang kian lama kian menjamur dan sepertinya mulai menjadi koloni di negeri ini. Namun Ncu tak pernah sedih. Tawa -yang bagi kebanyakan orang terlihat mengerikan- tak pernah lepas dari raut wajahnya, kenapa mengerikan?? Bukankah tawa adalah lukisan paling indah di dunia? Mengerikan, karena tawa itu membingkai gigi-gigi tak terawat yang dibalut wajah hitam kusam, yang jelas sangat jarang tersentuh produk-produk sabun kesehatan dan kecantikan keluarga yang banyak diiklankan di TV-TV swasta.

Ncu tak bisa baca tulis, dan tampak tak tertarik untuk belajar. Ia tak tertarik dengan sekolah. Hingga suatu hari, seorang kakak datang membawa puisi. Ncu tidak tahu puisi itu apa, tapi kakak itu bilang puisi itu tentang Ncu, petikan bunyi puisinyanya begini :
....
Wahai engkau dan aku…perjalanan selanjutnya kita habiskan
Dengan bercengkrama dengan sang mega…. Ia mendongeng tentang suatu pulau
Dimana anak-anak tak pergi ke sekolah namun ke jalanan
Bermain kucing-kucingan dengan petugas ..sambil berlarian di perempatan jalan
Bernyanyi riang dalam kepedihan, untuk kemudian
Menadahkan botol plastik bekas minuman
Berharap pada belas kasihan
Walau sekedar untuk uang recehan
Dan kita hanya bisa terdiam..
...
Ncu sangat senang puisi itu, ia tak mengerti artinya, namun Ncu ingin bisa membuat puisi sendiri, ia jadi ingin sekolah seperti anak-anak lain, yang sering dia lihat pergi dan pulang, di angkot-angkot yang jadi tempatnya mencari nafkah. Dia juga tak mengerti mengapa si kakak menangis saat membaca puisi itu.

Namun keceriaan itu tak bertahan lama, di usianya yang masih sangat muda -6 tahun bukan waktu yang lama jika dibandingkan usia hidup rata-rata manusia- nyamuk belang hitam putih mengantar penyakit untuknya. Orangtuanya yang takut ditagih uang dalam jumlah besar jika membawa Ncu ke gedung penuh orang-orang gagah yang berpakaian putih-putih, dengan alat aneh yang menggantung di leher mereka, yang biasa mereka tempelkan ke dada orang-orang yang datang, yang kalau tidak salah gedung itu bernama Rumah Sakit; lantas membawa Ncu ke paraji, dukun beranak yang ada di kampungnya. Tak ayal saat seorang tetangga yang mengerti tentang penyakitnya akhirnya membawanya ke Rumah Sakit, nyawanya sudah tak tertolong. Darah segar meleleh dari cuping hidungnya, pembuluh darahnya pecah akibat demam berdarah. Ironisnya, Ncu tidak tampak kesakitan, senyum pasrah terpampang di wajah pasinya, dan selesai sudah perjalanan singkat hidupnya di dunia. Namun kisah Ncu belum selesai, orangtuanya ternyata tak tercatat sebagai warga di RWnya, hingga prosesi pemakaman pun tak bisa dijalani dengan gratis. Bahkan kain kafan yang membungkus tubuhnya adalah hasil hutang ke tetangga. Hingga akhirnya ada seorang dermawan, teman si kakak pembaca puisi, yang rela sedikit membagi hartanya tuk membayar hutang biaya-biaya pemakaman Ncu. Orangtua Ncu tak henti mengucap terimakasih. Mereka hanya berdoa, semoga Tuhan yang akan membalas kebaikan sang dermawan. Dan selesai.TAMAT.

Sayangnya, cerita ini bukan kisah sinetron Indonesia, yang penuh plagiasi; yang kadang-kadang tak mencantumkan bahwa itu adalah karya jiplakan; yang anehnya lagi, ratingnya tetap juga tinggi. Dan sekali lagi sayang, ini juga bukan dongeng ala Amerika yang selalu berakhir bahagia, yang kadang membuat kita menjelma pemimpi, tak lagi realistis hadapi hidup. Ini kisah tentang Ncu, balada satir yang ada di sekitar kita, terjadi dari hari ke hari, dan masih banyak balada Ncu-Ncu lain yang bisa kita saksikan di luar sana. Dan entah sampai kapan kita hanya akan jadi penonton atau penikmat saja?

Jikalah bahagia akan menjadi masa lalu pada akhirnya, maka mengapa mesti dirasakan sendiri, sedang berbagi akan membuatnya lebih berarti...


Untuk Ncu, yang pergi tepat dua hari sebelum kelulusanku..
Maaf, tak jadi ada coklat traktiran kali ini...

No comments: